Rabu, 10 September 2014

Cerpen 3 :Bingkisan Lebaran:


Bingkisan Lebaran

Rumahnya kosong, ibunya tentunya
sedang pergi entah ke mana. Sejak ditinggal
ayahnya beberapa tahun yang lalu, Mawar,
murid kelas lima yang wajahnya selalu
tampak kemerah-merahan itu, tinggal
bersama ibunya saja di rumah yang dibeli
dengan uang peninggalan suaminya. Lelaki
itu meninggal dalam menjalankan tugas
sebagai reporter dan mendapatkan semacam
uang pesangon yang lumayan jumlahnya.
Cukup untuk membeli sebuah rumah
sederhana di sebuah real estate (perumahan)
agak di luar kota. Ibunya kerja di rumah,
menerima jahitan pakaian anak-anak dan
wanita. “Terima kasih, tidak usah sajalah.
Penghasilan saya cukup untuk kami berdua,”
begitu katanya setiap kali ada kerabat yang
menawarkan pertolongan.
Perempuan itu dididik untuk bekerja
keras, kakek Mawar selalu berpesan agar
ibunya itu jangan bergantung pada siapa pun.
Pesan itu dilaksanakannya. Dan perempuan
itu menerapkan prinsip serupa terhadap anak
gadis satu-satunya itu. Pulang dari sekolah
sehabis makan, Mawar diajar membantunya;
ia sudah pandai memasang kancing dan
menggunting potongan-potongan kain untuk
saku dan kerah. Ia menyukai pekerjaan itu
meskipun kadang-kadang merasa iri kepada
anak-anak sebayanya yang setiap pulang
sekolah main sepeda atau bola di sepanjang
jalan kecil di depan rumahnya. Ia tidak pernah
mengeluh kepada ibunya.
Siang itu rumahnya kosong, belum
pernah terjadi. Biasanya pintunya terbuka dan
ibunya terlihat sedang menjahit atau
memotong kain. Mawar duduk di teras,
kadang-kadang menjawab teriakan atau
lambaian tangan sambil lalu dari temantemannya
yang juga pulang sekolah.
Sekolahnya agak jauh dan setiap hari ia naik
mobil jemputan yang tentu saja harus
berputar-putar dahulu sebelum mencapai
rumahnya, terminal terakhir mobil jemputan
itu. Seperti biasanya gadis itu turun di
pertigaan dekat rumahnya, lalu jalan kaki.
Setiap hari mobilnya melewati jalan
kampung dan jalan besar. Setiap hari
dilihatnya beberapa anak sebayanya bermainmain
di perempatan bawah jembatan layang,
menunggu lampu merah. Mawar tahu mereka
itu mengemis, ia juga menyaksikan mereka
selalu gembira bermain di pinggir jalan jika
lampu sudah hijau kembali. Mereka
berkejaran, jejeritan, main bola. Dalam
khayal Mawar, mereka bahkan bisa terbang
melampaui jalan tol, main bola sambil naik
sapu, persis seperti apa yang pernah dibacanya
dalam buku cerita. Di antara mereka ada
seorang anak perempuan sebayanya yang
selalu diperhatikan dan tampaknya memerhatikan
juga setiap kali bis sekolah itu lewat
di sana. Mawar membayangkan kehidupan
yang bahagia, bermain sambil mencari makan.
Ia tidak pernah mempermasalahkan apakah
anak itu sekolah atau tidak meskipun akal
sehatnya tentu tahu bahwa pengemispengemis
kecil itu anak-anak putus sekolah.
Beberapa puluh menit ia duduk di teras,
ibunya belum muncul juga. Ia diajarkan untuk
tidak bergantung pada siapa pun apalagi
kebanyakan rumah tetangganya sudah kosong
ditinggal penghuninya yang pulang lebaran
ke kampung. Hari itu hari terakhir menjelang
libur dan ibunya tidak punya rencana pergi
ke mana-mana. “Kita simpan saja uang
lebaran untuk sekolah kamu,” katanya kepada
Mawar. “Untuk apa pulang kampung!”
Mawar segera membayangkan suasana sepi
sehabis mendengar keputusan ibunya itu. Ia
tidak akan bertemu sepupu-sepupunya di
kampung. Juga paman dan bibinya yang suka
membagi hadiah. Juga nenek dan kakeknya.
Ibunya tidak muncul-muncul juga. Hari
menjelang Magrib ketika gadis kecil itu
memutuskan untuk bangkit dan berjalan
meninggalkan rumahnya. Ia masih
menyimpan uang jajan hari itu, tadi
pulangnya agak cepat. Langkahnya tidak
menunjukkan apakah ia capek atau lapar atau
apa. Sama sekali tidak menoleh ke rumahnya
lagi. Tidak dijumpai juga ibunya di jalan. Ia
diajarkan dengan keras untuk tidak bergantung
kepada siapa pun, juga kepada ibunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar