Bingkisan
Lebaran
Rumahnya kosong,
ibunya tentunya
sedang pergi entah ke mana. Sejak
ditinggal
ayahnya beberapa tahun yang lalu,
Mawar,
murid kelas lima yang wajahnya
selalu
tampak kemerah-merahan itu,
tinggal
bersama ibunya saja di rumah yang
dibeli
dengan uang peninggalan suaminya.
Lelaki
itu meninggal dalam menjalankan
tugas
sebagai reporter dan mendapatkan
semacam
uang pesangon yang lumayan
jumlahnya.
Cukup untuk
membeli sebuah rumah
sederhana di sebuah real
estate (perumahan)
agak di luar kota. Ibunya kerja
di rumah,
menerima jahitan pakaian
anak-anak dan
wanita. “Terima kasih, tidak usah
sajalah.
Penghasilan saya cukup untuk kami
berdua,”
begitu katanya setiap kali ada
kerabat yang
menawarkan pertolongan.
Perempuan itu
dididik untuk bekerja
keras, kakek Mawar selalu
berpesan agar
ibunya itu jangan bergantung pada
siapa pun.
Pesan itu dilaksanakannya. Dan
perempuan
itu menerapkan prinsip serupa
terhadap anak
gadis satu-satunya itu. Pulang
dari sekolah
sehabis makan, Mawar diajar
membantunya;
ia sudah pandai memasang kancing
dan
menggunting potongan-potongan
kain untuk
saku dan kerah. Ia menyukai
pekerjaan itu
meskipun kadang-kadang merasa iri
kepada
anak-anak sebayanya yang setiap
pulang
sekolah main sepeda atau bola di
sepanjang
jalan kecil di depan rumahnya. Ia
tidak pernah
mengeluh kepada ibunya.
Siang itu
rumahnya kosong, belum
pernah terjadi. Biasanya pintunya
terbuka dan
ibunya terlihat sedang menjahit
atau
memotong kain. Mawar duduk di
teras,
kadang-kadang menjawab teriakan
atau
lambaian tangan sambil lalu dari
temantemannya
yang juga pulang sekolah.
Sekolahnya agak
jauh dan setiap hari ia naik
mobil jemputan yang tentu saja
harus
berputar-putar dahulu sebelum
mencapai
rumahnya, terminal terakhir mobil
jemputan
itu. Seperti biasanya gadis itu
turun di
pertigaan dekat rumahnya, lalu
jalan kaki.
Setiap hari
mobilnya melewati jalan
kampung dan jalan besar. Setiap
hari
dilihatnya beberapa anak
sebayanya bermainmain
di perempatan bawah jembatan
layang,
menunggu lampu merah. Mawar tahu
mereka
itu mengemis, ia juga menyaksikan
mereka
selalu gembira bermain di pinggir
jalan jika
lampu sudah hijau kembali. Mereka
berkejaran, jejeritan, main bola.
Dalam
khayal Mawar, mereka bahkan bisa
terbang
melampaui jalan tol, main bola
sambil naik
sapu, persis seperti apa yang
pernah dibacanya
dalam buku cerita. Di antara
mereka ada
seorang anak perempuan sebayanya
yang
selalu diperhatikan dan tampaknya
memerhatikan
juga setiap kali bis sekolah itu
lewat
di sana. Mawar membayangkan
kehidupan
yang bahagia, bermain sambil
mencari makan.
Ia tidak pernah mempermasalahkan
apakah
anak itu sekolah atau tidak
meskipun akal
sehatnya tentu tahu bahwa
pengemispengemis
kecil itu anak-anak putus
sekolah.
Beberapa puluh
menit ia duduk di teras,
ibunya belum muncul juga. Ia
diajarkan untuk
tidak bergantung pada siapa pun
apalagi
kebanyakan rumah tetangganya
sudah kosong
ditinggal penghuninya yang pulang
lebaran
ke kampung. Hari itu hari
terakhir menjelang
libur dan ibunya tidak punya
rencana pergi
ke mana-mana. “Kita simpan saja
uang
lebaran untuk sekolah kamu,”
katanya kepada
Mawar. “Untuk apa pulang
kampung!”
Mawar segera membayangkan suasana
sepi
sehabis mendengar keputusan
ibunya itu. Ia
tidak akan bertemu
sepupu-sepupunya di
kampung. Juga paman dan bibinya
yang suka
membagi hadiah. Juga nenek dan
kakeknya.
Ibunya tidak
muncul-muncul juga. Hari
menjelang Magrib ketika gadis
kecil itu
memutuskan untuk bangkit dan
berjalan
meninggalkan rumahnya. Ia masih
menyimpan uang jajan hari itu,
tadi
pulangnya agak cepat. Langkahnya
tidak
menunjukkan apakah ia capek atau
lapar atau
apa. Sama sekali tidak menoleh ke
rumahnya
lagi. Tidak dijumpai juga ibunya
di jalan. Ia
diajarkan dengan keras untuk
tidak bergantung
kepada
siapa pun, juga kepada ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar