Rabu, 10 September 2014

Cerpen 2 :Sate Nangka:


Sate Nangka

Nano dan Adi bermain ke rumah Nek
Haris. Mereka memang suka ke sana
sambil menemani Nek Haris yang hanya
tinggal sendirian. Ketika sampai di situ,
Nano melihat ada buah nangka yang sudah
masak.
"Nangkanya tidak dijual saja, Nek?"
tanya Nano pada Nek Haris.
"Nenek menunggu Bah A Hong. Dia
biasanya datang ke sini dan membayar seribu
rupiah setiap buahnya!" jawab Nenek.
"Buah sebesar itu cuma seharga seribu
rupiah, Nek" Adi membelalakkan mata.
"Harga di pasar mungkin bisa lebih, Di!
Tetapi nenek sudah tidak kuat menurunkan
buah itu dan membawanya ke pasar. Masih
ada orang yang mau datang membeli di sini
saja sudah untung!" kata Nenek lagi.
Nadanya pasrah dan menerima apa adanya
saja.
"Hm ... kalau boleh, kami akan
menjualnya, Nek! Pokoknya, paling sedikit
nenek dapat tiga ribu rupiah. Boleh, Nek?"
tanya Adi.
Nek Haris tampak menimbangnimbang,
"Boleh saja. Asal nanti kalian tidak
dimarahi orang tua kalian. Nenek juga
khawatir kalau mereka marah pada nenek.
Karena menyangka nenek menyuruh anak
orang berjualan!" sahut Nek Haris sambil
menatap kedua bersahabat itu.
"Beres, Nek! Ini kan, pekerjaan halal.
Tak mungkin orang tua kami marah!" kata
Adi penuh semangat.
Adi dan Nano lalu membawa buah
nangka tersebut dengan karung goni ke
rumah Nano.
"Kamu macam-macam saja, Di! Di
mana kita akan menjual nangka ini dengan
harga tiga ribu atau lebih?" Nano berkata.
"Tenang, No! Aku ada akal. Kita buat
sate nangka. Musim kemarau belum habis.
Pasti akan habis tandas bila kita jual di pasar
atau terminal!"
Adi dan Nano lalu membelah buah
nangka itu. Isinya disayat, lalu bijinya
dikeluarkan. Nano menyiapkan batangbatang
lidi. Buah nangka yang bijinya sudah
dkeluarkan, ditusuknya dengan lidi. Satu
batang lidi berisi empat atau lima buah
nangka.
Satu jam kemudian, Nano dan Adi
sudah menjinjing baskom berisi 40 tusuk sate
nangka ditutup plastik bening. Mereka
berjalan menuju terminal bis dan angkot
yang menghubungkan kampung mereka
dengan kota.
Sekejap saja, sopir-sopir dan kernet
mengerumuni dagangan Adi dan Nano itu.
setusuk dijual dua ratus rupiah. Nangka
Nek Haris ini memang manis dan lezat. Di
terminal itu saja, dalam waktu singkat,
sudah habis tiga puluh tusuk.
"Enam ribu rupiah sudah di tangan.
Kita bawa pulang saja nangka ini!" ajak
Adi.
Mata Nek Haris berkaca-kaca
menyambut kedua anak itu.
"Nek, ini hasilnya!" Nano menyerahkan
hasil dagangan mereka kepada Nek
Haris.
"Wah, wah, banyak betul, Adi, Nano!"
ucap Nek Haris lirih. "Nenek akan mengambil
empat ribu rupiah saja. Sisanya buat kalian
berdua. Nangka yang sisa ini untuk adikadik
kalian!" lanjut Nek Haris lagi.
Adi dan Nano saling menatap.
"Engg ... kami tidak terlalu
memerlukan uang, Nek. Nenek pasti lebih
perlu. Kami membawa nangka yang tersisa
ini saja!" Nano berkata tergagap. Nek Haris
menggeleng.
"Tidak. Empat ribu rupiah sudah lebih
dari cukup. Ingat, biasanya nenek cuma
dapat seribu rupah. Kalian memang hebat.
Banyak akalnya. Nah, sepantasnya kalian
mendapat juga hasil dari penggunaan akal
kalian ini!" Nenek terus memaksa mereka.
"Baiklah, Nek! Terima kasih banyak
kalau begitu!" ujar Adi akhirnya. Ia tak mau
mengecewakan nenek yang berniat baik ini.
"Nanti kalau ada yang matang lagi,
boleh kalian jual!" pesan Nek Haris ketika
Adi dan Nano hendak pulang.
Dalam perjalanan pulang Nano
berkata, "Tabungan kita tambah lagi, Di!
Ditambah lagi dengan sate nangka yang
manis-manis dan lezat ini!"
"Berbuat kebajikan, memang selalu
ada buahnya, No!" tukas Adi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar