Sate Nangka
Nano dan Adi bermain ke rumah Nek
Haris.
Mereka memang suka ke sana
sambil
menemani Nek Haris yang hanya
tinggal
sendirian. Ketika sampai di situ,
Nano
melihat ada buah nangka yang sudah
masak.
"Nangkanya tidak dijual saja,
Nek?"
tanya
Nano pada Nek Haris.
"Nenek menunggu Bah A Hong. Dia
biasanya
datang ke sini dan membayar seribu
rupiah
setiap buahnya!" jawab Nenek.
"Buah sebesar itu cuma seharga
seribu
rupiah,
Nek" Adi membelalakkan mata.
"Harga di pasar mungkin bisa lebih,
Di!
Tetapi
nenek sudah tidak kuat menurunkan
buah
itu dan membawanya ke pasar. Masih
ada
orang yang mau datang membeli di sini
saja
sudah untung!" kata Nenek lagi.
Nadanya
pasrah dan menerima apa adanya
saja.
"Hm ... kalau boleh, kami akan
menjualnya,
Nek! Pokoknya, paling sedikit
nenek
dapat tiga ribu rupiah. Boleh, Nek?"
tanya
Adi.
Nek
Haris tampak menimbangnimbang,
"Boleh saja. Asal nanti kalian
tidak
dimarahi
orang tua kalian. Nenek juga
khawatir
kalau mereka marah pada nenek.
Karena
menyangka nenek menyuruh anak
orang
berjualan!" sahut Nek Haris sambil
menatap
kedua bersahabat itu.
"Beres, Nek! Ini kan, pekerjaan
halal.
Tak
mungkin orang tua kami marah!" kata
Adi
penuh semangat.
Adi
dan Nano lalu membawa buah
nangka
tersebut dengan karung goni ke
rumah
Nano.
"Kamu macam-macam saja, Di! Di
mana
kita akan menjual nangka ini dengan
harga
tiga ribu atau lebih?" Nano berkata.
"Tenang, No! Aku ada akal. Kita
buat
sate
nangka. Musim kemarau belum habis.
Pasti
akan habis tandas bila kita jual di pasar
atau
terminal!"
Adi dan Nano lalu membelah buah
nangka
itu. Isinya disayat, lalu bijinya
dikeluarkan.
Nano menyiapkan batangbatang
lidi.
Buah nangka yang bijinya sudah
dkeluarkan,
ditusuknya dengan lidi. Satu
batang
lidi berisi empat atau lima buah
nangka.
Satu jam kemudian, Nano dan Adi
sudah
menjinjing baskom berisi 40 tusuk sate
nangka
ditutup plastik bening. Mereka
berjalan
menuju terminal bis dan angkot
yang
menghubungkan kampung mereka
dengan
kota.
Sekejap saja, sopir-sopir dan kernet
mengerumuni
dagangan Adi dan Nano itu.
setusuk
dijual dua ratus rupiah. Nangka
Nek
Haris ini memang manis dan lezat. Di
terminal
itu saja, dalam waktu singkat,
sudah
habis tiga puluh tusuk.
"Enam ribu rupiah sudah di tangan.
Kita
bawa pulang saja nangka ini!" ajak
Adi.
Mata Nek Haris berkaca-kaca
menyambut
kedua anak itu.
"Nek, ini hasilnya!" Nano
menyerahkan
hasil
dagangan mereka kepada Nek
Haris.
"Wah, wah, banyak betul, Adi,
Nano!"
ucap
Nek Haris lirih. "Nenek akan mengambil
empat
ribu rupiah saja. Sisanya buat kalian
berdua.
Nangka yang sisa ini untuk adikadik
kalian!"
lanjut Nek Haris lagi.
Adi dan Nano saling menatap.
"Engg ... kami tidak terlalu
memerlukan
uang, Nek. Nenek pasti lebih
perlu.
Kami membawa nangka yang tersisa
ini
saja!" Nano berkata tergagap. Nek Haris
menggeleng.
"Tidak. Empat ribu rupiah sudah
lebih
dari
cukup. Ingat, biasanya nenek cuma
dapat
seribu rupah. Kalian memang hebat.
Banyak
akalnya. Nah, sepantasnya kalian
mendapat
juga hasil dari penggunaan akal
kalian
ini!" Nenek terus memaksa mereka.
"Baiklah, Nek! Terima kasih banyak
kalau
begitu!" ujar Adi akhirnya. Ia tak mau
mengecewakan
nenek yang berniat baik ini.
"Nanti kalau ada yang matang lagi,
boleh
kalian jual!" pesan Nek Haris ketika
Adi
dan Nano hendak pulang.
Dalam perjalanan pulang Nano
berkata,
"Tabungan kita tambah lagi, Di!
Ditambah
lagi dengan sate nangka yang
manis-manis
dan lezat ini!"
"Berbuat kebajikan, memang selalu
ada
buahnya, No!" tukas Adi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar